|
Mpu Totok Brojodiningrat
bersama Tombak Kanjeng Kyai Sigar Penjalin,
Kirab Budaya Nusantara di Kutai Barat, Kaltim (2015) |
Wuku Watu Gunung dan Kisah Terjadinya
Pawukon
Saat lembayung senja
menggerayangi sudut sudut Taman Sari nan indah, Sang dewi Sinta yang cantik
jelita tiada tara sedang asyik masyuk mencabuti satu dua rambut uban di
Pasondholan (kepala) Prabu Watu Gunung. Bagaikan disambar petir dengan mata
terbelalak dan jemari tangan tergetar hebat ketika menyibakkan rambut Sang
Prabu ada sebuah bekas luka belang dikepala. Tertegun sesaat, kemudian Sang
Dewi teringat kenangan yang terpatri abadi dalam jiwanya, peristiwa getir dan kelabu
puluhan tahun yang silam.
Dengan perut besar karena
usia kehamilan menginjak bulan sembilan, seorang wanita muda cantik jelita
menerobos lebat dan ganasnya hutan belantara, dengan air mata tiada henti
meleleh lantaran diperas roda kepedihan yang teramat dahsyat....telapak kaki
penuh berhiaskan onak duri hingga penuh darah penuh nanah. Wanita cantik malang tersebut tak lain
sebenarnya adalah Permaisuri Raja Palindriya. Walau dalam keadaan hamil tua
tekadnya telah bulat, lebih memilih meninggalkan kemewahan hidup di istana
daripada hidup dimadu dengan adiknya sendiri.
Setelah usia kehamilan
memasuki Nawa Candra Dasa Ari (sembilan bulan sepuluh hari), maka terlahirlah
bayi laki laki yang mencorong laksana Pratima mas (boneka emas) dengan tangisnya
yang teramat keras seakan memenuhi seluruh belantara suara tangisnya, bayi
tersebut diberi nama Raden Wudug, dengan penuh kasih sayang dirawat sendiri
oleh ibunya.
Bulan berganti, musim
berlalu, tanpa terasa sewindu sudah usia R. Wudug, alam rimba raya dan isinya,
seperti harimau, gajah, kijang, monyet, berbagai burung dan binatang binatang
lainnya adalah sahabatnya. Terkadang R. Wudug pulang terlalu sore membuat cemas
ibunya.
Pada suatu hari ibunya terasa
cemas sekali, karena semalaman R. Wudug tidak pulang, dan paginya baru pulang,
dengan perut sangat lapar R. Wudug memaksa ibunya untuk segera menyiapkan
makan, pada saat itu ibunya sedang sibuk menanak nasi dengan tangan kanan
memegang Centhong (semacam alat/sendok untuk mengambil nasi). Karena
lepas kendali maka secara reflek centhong itu dipukulkan ke kepala anaknya.
Sambil mendekap luka di kepalanya yang mengucurkan darah segar R. Wudug mengaduh
lirih tanpa keluar suara tangisnya, tertegun sesaat memandangi ibunya dengan
hati tidak percaya ibunya akan tega melakukan itu. Sekejap kemudian R. Wudug lari se-kencang-kencangnya
meninggalkan gubug ibunya.
Ibu R. Wudug yang sejatinya
adalah Dewi Sinta, dengan penyesalan yang teramat dalam mengejar dan meneriaki R.
Wudug, akan tetapi R. Wudug lenyap bagaikan ditelan pertiwi dan bertiraikan
lebatnya pepohonan rimba raya. Dalam hati R. Wudug merasa sudah tidak lagi
disukai oleh ibunya, maka terus berlari dan berlari menjauh dari gubug dimana
ibunya tinggal. Hidup terlunta lunta seorang diri dan mengganti namanya menjadi
Raden Redite. Singkat cerita, tahu-tahu R. Redite telah berhasil menaklukkan penguasa Giling Wesi, R. Redite
Sinengkak aken ing aluhur (dinobatkan) menjadi raja Giling Wesi bergelar Prabu
Watu Gunung.
Pada suatu pagi yang cerah,
di hutan yang asri, ketika Sang Prabu Watu Gunung sedang Membedhag Buron Wono
(berburu dihutan), di tepi Sendang (mata air) yang airnya bening berkilau,
dilihatnya ada seorang wanita muda yang teramat cantik jelita, tak ubahnya
tetungguling Bidadari yang sedang turun dari taman swargaloka sedang mencuci
kainnya, dengan rambut hitam legam setengah basah tergerai hingga pinggangnya.
Oleh Prabu Watu Gunung disapanya wanita cantik jelita itu, dengan tubuh
menggigil seakan tidak mampu berdiri dan bertumpu dikedua kakinya, dengan mata
terbelalak terpesona ketampanan Sang Prabu, seketika itu tumbuh akar asamara
merambat disekujur tubuh dan jiwanya...ketika Prabu Watu Gunung menyentuh
lembut pundaknya, seluruh senar hati Sang Jelita tergetar hebat...
Demikian juga halnya dengan
Prabu Watu Gunung, menggigil dalam hasrat dan tumbuh sayap-sayap kehendak untuk
meminang Sang Jelita dalam rengkuhan singgasana cintanya yang agung. Gayung
bersambut, Sang Jelitapun menerima pinangannya. Diboyonglah Dewi Sinta
ke kerajaan untuk diajak Mukti wibowo hambau dendho hanyokrowati (menjadi
permaisuri) mendampingi Sang Prabu Watu Gunung. Dan dewi Sinta samasekali tidak
mengira bahwa yang menjadi suaminya adalah putra kandungnya sendiri.
Prabu Watu Gunung pun tidak
mengira bahwa wanita jelita yang nampak masih perawan itu adalah ibu kandungnya
sendiri. Dipikirnya tentu ibunya sudah meninggal atau kalau masih hidup pun
tentu sudah tua renta. Adapun dewi Sinta tetap awet muda karena tiap hari siram
jamas di Sendang Panguripan dan rajin minum jamu dedaunan awet muda hasil
racikannya sendiri. Hubungan asmara terlarang sudah terlanjur terjadi, bubur
tidak lagi mungkin kembali menjadi nasi. Hal yang bisa diupayakan Sang Dewi
adalah mengakhiri hubungan asmara ini untuk menghindari kutukan Dewata.
|
Gambar Wuku Watugunung |
Setelah Maneges (mohon
petunjuk) akhirnya Sang Dewi mendapatkan petunjuk dari Hyang Widhi, ia
mengajukan permintaan agar dimadu dengan tetungguling bidadari di Kayangan yang
bernama Dewi Supraba, dengan alasan suatu kebanggaan dan kehormatan kalau
dimadu dengan ratunya bidadari. Walau dengan basa basi, permintaan wanita yang
amat dicintainya itu disanggupi. Tanpa menunggu waktu lama, Prabu Watu Gunung
naik ke Kayangan Kaendran untuk meminang Dewi Suprobo. Tentu saja Batara Indra
tidak mengijinkan, maka terjadilah perang tanding yang akhirnya dimenangkan oleh
Prabu Watu Gunung. Seluruh dewa di Kayangan tidak ada yang mampu mengalahkan
Prabu Watu Gunung. Maka majulah Senopati Perang para dewa yang amat terkenal
sakti dan cerdik, yaitu Dewa Wisnu.
Menghadapi Dewa Wisnu yang amat
cerdas dan sakti mandraguna itu, Prabu Watu Gunung menggunakan Gelar Perang yang
di-support oleh dua istrinya yaitu Dewi Sinta dan Dewi Landhep dan dua puluh
tujuh putranya, mengepung Dewa Wisnu dari delapan penjuru mata angin, angkasa
dan pertiwi. Gelar perang yang sempurna ini tidak mampu ditembus oleh Dewa Wisnu,
apalagi Prabu Watu Gunung menguasai ilmu kebal Lembu Sekilan, tidak bisa
terkena senjata apapun. Menyadari tidak akan mampu menerobos formasi perang yang
digelar oleh Prabu Watu Gunung, maka sebagai dewa yang amat cerdik, dewa Wisnu
menantang untuk adu kecerdasan dan kepintaran otak. Prabu Watu Gunung langsung
menerima tantangan tanpa menyadari bahwa diakali oleh dewa Wisnu. Adu
kecerdasan itu dengan cara adu main catur.
Sampai ber hari hari
pertandingan catur berjalan dengan seru, dewi Sinta semakin cemas, khawatir
kalau dewa Wisnu kalah, maka akan gagal harapannya untuk menghentikan kutukan Dewata.
Saat dewi Sinta masih tenggelam dengan puja semedinya, tiba-tiba terdengar
Surak-Surak Manengker Gumuruh hamboto rubuh (suara tempik sorai) para dewa dewa
yang meng-elu-elukan kemenangan dewa Wisnu.
Prabu Watu Gunung yang sakti mandraguna telah dikalahkan dengan kecerdikan
dewa Wisnu. Karena rasa malu yang
tak tertanggungkan, maka dengan tertunduk lesu ditinggalkanlah tempat itu oleh
Prabu Watu Gunung, dan ditempat yang sepi Prabu Watu Gunung mengakhiri hidupnya
dengan cara Moksa. Menyaksikan hal itu maka dewi Sinta dan dewi Landhep ikut
bela pati, yang juga diikuti oleh keduapuluh tujuh anak-anaknya.
Gelar perang Prabu Watu
Gunung. Yang amat tangguh dan rapi ini mendapat pujian khusus dari dewa Wisnu,
begitu pula dengan dewa-dewa lainnya juga mengagumi kehebatan Gelar Perang ini.
Tiga puluh orang yang mumpuni dalam olah kanuragan guno kasantikan, telah menjadi
Ruas-Ruas pertahanan, setiap Ruasnya memiliki kekuatan satu minggu lamanya.
Diawali dari hari minggu hingga dengan hari Sabtu. Terus berjalan silih
berganti tiada henti dalam setahun 30 wuku = 7 x 30 = 210 hari.
Rotasi Waktu Wuku Watu Gunung
Wuku Watu Gunung dibawah
pengaruh Hyang Hanantaboga. Dalam minggu ini durasinya dari tanggal 26 April
2015 sampai dengan tanggal 02 Mei 2015 (Minggu kliwon ~ Sabtu Legi).
|
Hyang Hanantaboga,
Simbol Minggu Wuku Watugunung |
Tanggal 26 April 2015 (Minggu
Kliwon): wataknya Rahayu. Baik sekali untuk kulakan hewan berkaki empat,
seperti Sapi, Kerbau, kambing, Kuda.
Tanggal 27 April 2015 (Senin
Legi): sangat baik untuk memulai menyebar benih padi. Memulai usaha agrobisnis
dan usaha peternakan.
Tanggal 28 April 2015 (Selasa
Paing): hari ini Satriya Wirang, tidak baik untuk bepergian, mendapatkan malu.
Tanggal 29 April 2015 (Rabo
Pon): Tidak baik. Jangan mengambil keputusan/tindakan penting, karena yang ada
dibumi akan sangat mudah bereaksi keras dan pada akhirnya akan menjadi
sandungan dan halangan.
Tanggal 30 April 2015 (kamis
Wage): wataknya Rahayu. Bepergian mendapatkan keselamatan. Bayi yang lahir akan
banyak rejeki.
Tanggal 01 Mei 2015 (Jumat
Kliwon): Tidak baik untuk bepergian.
Tanggal 02 Mei 2015 ( Sabtu
Legi ): wataknya Rahayu. Baik untuk segala keperluan. Untuk menanam Polo
kabrungkah (seperti ketela) baik.
Wuku Watu Gunung: Dewanya
Sang Hyang Hanantaboga. Kayunya: Wijayakusuma. Burungnya: Gogik. Sangat
menyukai ketenangan. Bersikap seperti pendeta. Berbadan Naga Jantan dan Betina.
Menyukai Semedi/tirakat. Wuku Watu Gunung tidak bisa diam (kreatif). Celakanya
jika Dianiaya. Kolo berada di Timur menghadap kebarat. Selama tujuh hari saat
wuku Watu Gunung sebisa mungkin tidak mengadakan perjalanan penting kearah Timur.
Keris yang cocok untuk wuku
Watu Gunung antara lain: Keris dhapur Sabuk Inten, keris dapur Sabuk Tampar,
keris dapur Carangsoka, keris dapur Pandawa Cinarita, keris dapur Pandawa Lare.
Wuku Watu Gunung kali ini
masuk Mongso Dhesta. Candrane: "Sotya Sinoro wedi". Mangsane manuk
podho ngloloh. Bayi kang lahir ing mongso iki watake climut.
*climut: mudah mengambil benda yang tergeletak
Komentar
Posting Komentar
Konsultasi/diskusi lebih lanjut, silahkan posting di kolom komentar