"Rotasi Wuku Julung Pujud, 11-17 Januari 2015"
Mpu Totok Brojodiningrat
Padepokan Keris Brojodiningrat Surakarta
|
Mpu Totok Brojodiningrat (baju hitam)
Peluncuran Buku "Kujang", Gedung Indonesia Menggugat, Bandung
Bersama Mpu Basuki Teguh Yuwana (sisi kiri) dan
Sri Mpu Darmapala Vajrapani dari Bali (Tengah) |
A. Kisah Generasi Paripurna
Wuku Julung Pujud, dewa yg mempengaruhi adalah Batara Guritna. Dalam versi Redisutan, Batara Guritna adalah
Spirit/jiwa dari Jabang Tetuka,
Koconagoro, Purbaya, yang proses berkembang dan dewasanya digembleng di pusat
pendadaran bernama Kawah Candradimuka.
|
Bathara Guritna, Simbol Wuku Julung Pujud |
Kawah Candradimuka secara simbolik merupakan inti dari lelehan pijarnya
magma untuk membentuk sebuah generasi baru yang mumpuni. Generasi baru ini mempunyai
sikap mental yang gagah berani, tangguh, tanggon
dan memiliki sifat tanggung jawab tinggi. Ibarat ber-otot kawat balung wesi (otot kawat, tulang besi), sungsum gegolo (sungsum inti nuklir). Sosok
generasi yang mampu terbang menggapai langit lazuardi dan membelah mega-mega
yang merangkak di cakrawala.
Tubuh generasi yang memancarkan medan energi dahsyat tiada tara untuk
menetralisir panas dan curah derasnya air hujan, karena limambaran pusaka sakti berupa baju atau Kutang Antakusuma dan Caping
Basunando. Bahkan sang generasi itu mampu melanglang buwana (dunia) dan segala medan, tanpa terdeteksi oleh radar lawan.
Ibarat "Kayu aeng, Lemah sangar dadi
towo", karena ia memiliki Kasut
podo kacarmo, yaitu sepatu yang tercipta dari kulit penjaga bumi berwujud
naga bernama Sang Hyang Ananta Kusuma.
Namun, generasi paripurna ini harus lebih awal gugur sebagai kusuma bangsa.
Lantaran dijadikan tumbal atau tameng hidup oleh titisan Wisnu Batara. Ini
terjadi dalam situasi langkah penyelamatan terhadap Arjuna dari senjata
pamungkas yang bernama panah Kunta
Wijayandanu. Senjata pamungkas itu dilepas oleh Surya Putra/Karna Basusena dalam perang suci antara Darma dengan Adarma di padang Kuru Kasetra
nan angker.
Bathara Guritna telah mempersiapkan
generasi berikutnya, putranya, yaitu Sasikirana. Ibarat persalinan atau melahirkan, sekecil apapun harus berdarah darah, maka Bathara Guritna itulah yang berdarah tumbal untuk
menghantarkan Sang Sasikirana.
B. Pawukon Skala Harian
Tgl 11 Januari 2015 (Minggu Kliwon): Rahayu, menguntungkan untuk mengikat
kerjasama, menjalin persaudaraan kian erat. Orang yang terlahir pada hari
Minggu Kliwon wuku Julung Pujud ini termasuk Lebu Katiyup Angin (apa yg diperjuangkan hasilnya cenderung tidak
sesuai atau muspra/sia sia).
Tanggal 12 Januari 2015 (Senen Legi): Baik untuk membebaskan orang yg
terbelenggu, merekrut tenaga kerja bagus, untuk mencari jodoh cepat dapat. Akan
tetapi Naasnya tanggal, hindari punya hajat mantu/perkawinan.
Tanggal 13 Januari 2015 (Selasa Paing): Untuk bepergian niaga baik. Njabung pusaka atau memasang perangkat
pusaka seperti tombak dan keris. Orang yang terlahir pada hari Selasa Paing
wuku Julung Pujud termasuk Satriya Wirang
(dalam perjalanan hidupnya sering sekali mendapat malu baik karena perbuatannya
sendiri maupun karena ulah orang lain).
Tanggal 14 Januari 2015 (Rabo Pon): baik untuk segala keperluan. Baik untuk
njamasi pusaka seperti keris, tombak dan lain sebagainya, termasuk didalamnya
untuk pasang warangka.
Tanggal 15 Januari 2015 (Kamis Wage): tidak baik untuk keperluan penting
dalam segala hal, menghindari bepergian, banyak Sambikolo/halangan.
Tanggal 16 Januari 2015 (Jum'at Kliwon): Tidak baik untuk merencanakan sesuatu
(planning) karena rencananya hanya
akan membawa bencana. Naasnya/sialnya tanggal, hindari mantu atau hajadan
perkawinan dan hajatan penting lainnya.
Tanggal 17 Januari 2015 (Sabtu Legi): Rahayu. Baik untuk Menanam modal,
menyimpan padi dilumbung atau dilogistik, memulai usaha pangan dan
sejenisnya.
Individu yang terlahir pada kategori Lebu
Katiyup Angin dan Satriyo Wirang,
seyogyanya diruwat Pawukon untuk mentralisir energi negatif yg menyelimutinya.
C. Pranata Mangsa dan Wuku Julung Pujud
Di dalam Pranoto mongso Wuku Julung Pujud, pada bulan Januari ini masih
didalam rotasi mongso Kapitu, candranya: "Wisa Kentar Ing Maruta".
Ing mongso iki akeh lelara panas lan weteng. Akeh kali banjir lan angin
gedhe. Wong sesawah wiwit tandur. Bayi lair ing mongso iki watake Brangasan,
seneng gawe lara atine liyan.
Artinya: racun atau sesuatu yg berbisa, berhambur dibawa angin. Banyak orang sakit
panas dan sakit perut. Banyak bencana banjir dan angin ribut, tanah longsor.
Para petani mulai tanam. Bayi yang terlahir didalam mongso ini wataknya
cenderung Emosional dan mudah membuat sakit hati sesama.
Salah satu solusi spiritualitas yang diwariskan leluhur Nusantara adalah ruwatan pawukon terhadap bayi yang terlahir dalam situasi pranoto mongso kapitu, wuku Julung Pujud. Prasyarat simbolik untuk mengatasi karakter emosional dalam rotasi tersebut antara lain berupa ruwatan pawukon dengan tumpeng, seperti diuraikan dalam bagian narasi wuku Julung Pujud berikut ini.
D. Narasi Wuku Julung Pujud
Wuku Julung Pujud: dewanya Batara Guritno. Kayunya: Rembuyut, indah dalam
pandangan mata, banyak orang mencarinya walau tidak berbunga. Burungnya: Emprit
Tondang. Wataknya dekat dengan keberuntungan, menjadi buah bibir yang baik.
Julung Pujud: Lengkowo (menyenangkan
hati orang). Bilahi atau celakanya: Jika ditenung/diguna-guna.
Wilujengan/selamatannya: Tumpeng dengan lauk daging ayam merah. Selawat: 50
keteng. Kala/apesnya berada di Barat laut menghadap tenggara. Disaat rotasi
wuku Julung Pujud selama 7 (tujuh hari), mulai hari Minggu sampai Sabtu menghindari
berjalan ke arah Barat laut.
Teks asli:
Wuku Julung
Pujud: Dewa Hyang Bathara Guritna. Remen rame tur becik pocapane lan ana lungguhe
lan ana kawiyasane. Tan darbe gedhong tan darbe toya. Kayu Rembuyut abagus
warnane. Tanpo gondo saenggon enggon diupoyo. Manuk Prit johan asugih nanging
geng kersane. Remit artine gunung ing ngarsane. Tandha geng kersane tur lumuh
kaungkulan barang karepe. Lambanging teja lengkawa kukuwung, tegese blere
abagus candrane baita ing laut. Ngalor ngidul nggennyo ngupoyo tedho, nanging
tan kirang rijeki. Bilahine kateluh. Tulak slamet ana tumpeng dangdangan beras
sepitrah. Iwakke pitik abang pinanggang, kuluban warna sanga. Slawate tigang
dasa ketheng, dongane Bolo srewu. Julung Pujud keh lara sambarimpung. Bilahi
winisaya. Pangruwating bilahi gedhang becici satundhun kang sinang, lan
ambengan weton. Kang darbe wuku iki yen peteng atine nylametono nuju weton
pawukone. Kala wuku neng Ler Kilen marep mangidul ngilen pitung ndina.
E. Keris dan Wuku Julung Pujud
Keris yang cocok bagi individu yang ber-Wuku Julung Pujud adalah keris keluk (Luk), yaitu dhapur Sabuk Inten, Sabuk Tampar, Carang Soka dan dhapur Pandawa Lare, Pandawa Cinarita.
Catatan Editor (Anom Surya Putra):
Dibawah ini terdapat uraian ringkas tentang perbandingan antara keris dhapur Sabuk Inten (Luk 11) dan Sangkelat (Luk 13). Dikutip dari Forum Diskusi Vikingsword pada http://www.vikingsword.com/vb/showthread.php?p=50028
Almost every collector who collect Javanese kerises in Java, know this popular dhapur "sabuk inten" (diamond belted), with 11 luks. As popular as Nagasasra (mostly thirteen luks, with naga or dragon relief). For comparison, I show you the dhapur "sengkelat" (thirteen luks) with almost similar "ricikan" (details) -- only differed by luks number... (The sengkelat with Solonese hilt is from 21th century, and the Sabuk Inten with Yogyanese hilt supposed to be from Mataram era. Or say it, keris with Mataram style)
The wood of the "branggah" style sheath is quite rare. It is from "nagasari" wood (Messua ferrea Linn.). Nagasari tree, is believed, came from part of India. The name of origin is "nagakesara". Or maybe in Malay, you may call it as "penaga lilin, penaga putih or penaga suga. Correct me if I'm wrong...
Ganjawulung
Komentar
Posting Komentar
Konsultasi/diskusi lebih lanjut, silahkan posting di kolom komentar