WangSit

Wuku Sinta Minggu Pahing 23 Oktober 2022 Kolaborasi Bisnis Peternakan

Gambar
Watugunung, gugur. Mitologi pawukon ( astrology ) kali ini akan membuka kembali pemaknaan atas rotasi waktu, karakter orang, dan karakter hari . Wuku Sinta adalah wuku ( zodiac ) pertama dalam siklus pawukon ( astrology ). Dalam urutan zodiak Yunani,  Wuku Sinta  setara dengan zodiak  Aries  yang menempati urutan pertama. ~ Manuskrip Pawukon ~ Masing-masing wuku juga mempunyai pasangan mitologis seperti halnya zodiak. Mitologi Yunani kuno menyatakan, zodiak Aries berpasangan dengan Dewa Ares, sedangkan mitologi pawukon memberikan gambar-gambar simbolik bahwa wuku Sinta berpasangan dengan Bathara Yamadipati.  Untuk mengetahui tanggal kelahiran Anda termasuk dalam siklus Wuku Sinta atau tidak, Anda bisa menghitung sendiri melalui situs  BabadBali.com .  Data kelahiran Anda secara otomatis akan terkonversi pada wuku tertentu.  Mitos Dewa Ares dan Bathara Yamadipati mempunyai kemiripan karakter yakni sama-sama berkarakter pencabut nyawa. Dewa Ares mencabut nyawa orang melalui pertempuran,

Cerita Mitologi Pawukon

Ribuan tahun lalu Desa kuno pada zaman Wanua, Vanua, atau Banwa mempunyai Dunia-Kehidupan (lifeworld; lebenswelt) untuk mengatur dan mengurus mata pencaharian dan pemerintahannya melalui pawukon. 

Tak diketahui pasti tindakan komunikatif melalui pawukon itu di Wanua, Vanua dan Banwa. Sistem kekuasaan negara-kerajaan barulah sekitar abad ke-10, menurut Philip van Akkeren, melakukan rekognisi (atau: pengakuan) terhadap perbintangan dan pawukon Jawa. Almanak dan pawukon itu tertulis dalam piagam batu yang menggunakan aksara kuno. 

Rekognisi atas pawukon mengalami rasionalisasi menjadi strategi perang. Berbagai kisah mitos dalam pawukon bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi pawukon menjadi panduan hidup bagi Desa, sedangkan di sisi lain pawukon bisa menjadi strategi memenangkan perang setelah menghitung karakter hari dan pihak lawan dengan cermat. 

Di masa kini pihak lawan itu maknanya meluas, mungkin pihak lawan bicara, pihak kompetitor bisnis atau pihak kompetitor pada institusi kekuasaan negara. Ini bila membicarakan pawukon dalam Sistem yang dimuati kekuasaan negara dan pasar. Berbeda dengan perbincangan pawukon di Desa. Nalar pawukon digunakan untuk memperhitungkan berbagai usaha pertanian dan/atau peristiwa kehidupan sehari-hari mulai kelahiran sampai dengan kematian. Harmoni.

1. Mitos Kisah Bathara Yamadipati dan Dewi Sinta dalam Wuku Sinta

Bathara Yamadipati adalah putra dari Sang Hyang Ismaya (Semar) dengan Dewi Sanggani. Bathara Yamadipati merupakan raksasa dari golongan dewa yang dikenal dengan nama dewa kematian, hal itu dikarenakan Bathara Yamadipati mengemban tugas sebagai dewa pencabut nyawa dan dewa penjaga neraka. Bathara Yamadipati tinggal di Khayangan Hargadumilah bersama istrinya Dewi Mumpuni namun saat bertugas Bathara Yamadipati berada di Yamaloka (Neraka) dan dibantu oleh balatentaranya yaitu makhluk yang disebut Kingkara. Kingkara sendiri dalam pewayangan tidak digambarkan dalam rupa wayang, akan tetapi diceritakan Kingkara adalah balatentara penjaga neraka yang jumlahnya milyaran serta berfisik seperti siluman setengah manusia berwarna putih, bersayap, raut muka tanpa ekspresi dan yang paling gampang dikenali matanya hitam legam seluruhnya tanpa ada putih mata.

Di sisi lain, dewa kematian Batara Yamadipati memiliki kekecewaan terhadap kisah cintanya di masa lalu. Yamadipati kecewa dengan Dewi Mumpuni yang mengkhianati Yamadipati. Dewi Mumpuni berpaling dengan pemuda bernama Nagatatmala. Dikisahkan bahwa Bathara Guru memberi anugerah untuk Yamadipati berupa sebuah pernikahan dengan anaknya, Dewi Mumpuni. Oleh karenanya, Dewi Mumpuni tidak mencintai Yamadipati dan berpaling ke pemuda lain. Pengkhianatan yang dilakukan Dewi Mumpuni membuat Yamadipati berjanji akan memberikan anugerah bagi istri yang setia pada suaminya.

Dewi Sinta adalah perempuan Desa yang cantik. Kembang Desa. Dewi Sinta mempunyai saudara Dewi Landhep yang konon juga cantik. Resi Gana, putra dari dewa yang bernama Bathara Temburu, ingin menikah dengan kedua perempuan itu. Dewa menikah dengan manusia. Mitos pernikahan semacam ini tak hanya tumbuh subur dalam nalar Yunani kuno. Mitos di nusantara pun mempunyai nalar serupa.

Saat lembayung senja menggerayangi sudut sudut Taman Sari nan indah, Sang dewi Sinta yang cantik jelita tiada tara sedang asyik masyuk mencabuti satu dua rambut uban di Pasondholan (kepala) Prabu Watu Gunung. Bagaikan disambar petir dengan mata terbelalak dan jemari tangan tergetar hebat ketika menyibakkan rambut Sang Prabu ada sebuah bekas luka belang dikepala. Tertegun sesaat, kemudian Sang Dewi teringat kenangan yang terpatri abadi dalam jiwanya, peristiwa getir dan kelabu puluhan tahun yang silam.

Dengan perut besar karena usia kehamilan menginjak bulan sembilan, seorang wanita muda cantik jelita menerobos lebat dan ganasnya hutan belantara, dengan air mata tiada henti meleleh lantaran diperas roda kepedihan yang teramat dahsyat....telapak kaki penuh berhiaskan onak duri hingga penuh darah penuh nanah. Wanita cantik malang tersebut tak lain sebenarnya adalah Permaisuri Raja Palindriya. Walau dalam keadaan hamil tua tekadnya telah bulat, lebih memilih meninggalkan kemewahan hidup di istana daripada hidup dimadu dengan adiknya sendiri.

Setelah usia kehamilan memasuki Nawa Candra Dasa Ari (sembilan bulan sepuluh hari), maka terlahirlah bayi laki laki yang mencorong laksana Pratima mas (boneka emas) dengan tangisnya yang teramat keras seakan memenuhi seluruh belantara suara tangisnya, bayi tersebut diberi nama Raden Wudug, dengan penuh kasih sayang dirawat sendiri oleh ibunya.

Bulan berganti, musim berlalu, tanpa terasa sewindu sudah usia R. Wudug, alam rimba raya dan isinya, seperti harimau, gajah, kijang, monyet, berbagai burung dan binatang binatang lainnya adalah sahabatnya. Terkadang R. Wudug pulang terlalu sore membuat cemas ibunya.

Pada suatu hari ibunya terasa cemas sekali, karena semalaman R. Wudug tidak pulang, dan paginya baru pulang, dengan perut sangat lapar R. Wudug memaksa ibunya untuk segera menyiapkan makan, pada saat itu ibunya sedang sibuk menanak nasi dengan tangan kanan memegang Centhong (semacam alat/sendok untuk mengambil nasi). Karena lepas kendali maka secara reflek centhong itu dipukulkan ke kepala anaknya. Sambil mendekap luka di kepalanya yang mengucurkan darah segar R. Wudug mengaduh lirih tanpa keluar suara tangisnya, tertegun sesaat memandangi ibunya dengan hati tidak percaya ibunya akan tega melakukan itu.  Sekejap kemudian R. Wudug lari se-kencang-kencangnya meninggalkan gubug ibunya.

Ibu R. Wudug yang sejatinya adalah Dewi Sinta, dengan penyesalan yang teramat dalam mengejar dan meneriaki R. Wudug, akan tetapi R. Wudug lenyap bagaikan ditelan pertiwi dan bertiraikan lebatnya pepohonan rimba raya. Dalam hati R. Wudug merasa sudah tidak lagi disukai oleh ibunya, maka terus berlari dan berlari menjauh dari gubug dimana ibunya tinggal. Hidup terlunta lunta seorang diri dan mengganti namanya menjadi Raden Redite. Singkat cerita, tahu-tahu R. Redite telah berhasil menaklukkan penguasa Giling Wesi, R. Redite Sinengkak aken ing aluhur (dinobatkan) menjadi raja Giling Wesi bergelar Prabu Watu Gunung.

10. Mitos Kisah Bathara Ganesa dalam Wuku Sungsang

Batara Guru atau Sang Hyang Manikmaya adalah penguasa Kahyangan sangat berkehendak (baca: meng-idam-idam-kan) mempunyai keturunan yang mumpuni/ahli dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Disamping juga ia berkehendak ada seorang putera yang sakti mandraguna ora tedhas tapak paluning pande sisaning gurinda (kebal lahir batin) yang pilih tanding untuk bisa memusnahkan Prabu Nilarudraka.

Prabu Nilarudraka adalah Sosok raja raksasa yang Merong kampuh jinggo mbondhan tanpo ratu (memberontak) ke kahyangan. Ia berhasrat mempersunting salah seorang bidadari yang amat kondang, sexy, dan menggairahkan bernama Batari Gagar mayang.

Bathara Narada sebagai sesepuh dan penasehat utama kahyangan yang amat cerdik dan waskita, lalu merancang skenario briliant guna mewujudkan impian dan harapan Batara Guru agar mendapatkan seorang putera yang cerdas dan berpengetahuan seluas tujuh samudera yang tak bertepi. Batara Narada sangat paham bahwa Liman (gajah) membawa sifat dasar berdaya ingat sangat kuat, disamping volume otak yang amat besar melebihi binatang lain yang ada dibumi ini.

Bathara Narada yang cerdik dan gudangnya ide itu berfikir: alangkah dahsyat dan hebatnya bila otak gajah yang amat besar itu di-cangkok dengan sel-sel otak manusia. Tentu saja kelak akan menjelma sosok penasehat utama dengan kombinasi otak limited yang super cerdas.

Maka diperintahkanlah kepada Batara Indra untuk menuntun tunggangannya yaitu Gajah Erawana dengan cara diam-diam dibelakang Dewi Uma (istri Batara Guru). Betapa kaget dan terkejut setengah mati Dewi Uma yang saat itu sedang mengandung ketika menoleh kebelakang melihat Gajah.

Sambil memekik tertahan lari ketakutan dengan tanpa sadar tangannya cincing (menarik) kain jarit tinggi-tinggi. Hingga menyembul jelas betis indahnya mencorong bagaikan emas sinangling yang menawarkan hasrat pada gelora birahi lelaki. Sehingga ia lupa mengucapkan "Amit amit jabang bayi" seperti lumrahnya yang diucapkan para wanita mengandung ketika melihat perwujudan yang menakutkan atau menjijikkan baginya. Pengaruh keterkejutan sangat terpatri kuat dalam jiwa Dewi Uma.

Saat kandungan dalam rahim Dewi Uma genap hitungannya Nawa candra dasa ari (sembilan bulan sepuluh hari), seketika itu Myak langse gumbolo giri mijil kang jabang bayi (terlahir dari rahim bayi super sehat yang berbadan manusia berkepala gajah). Kelak anak yang terlahir ini lebih dikenal dengan nama Batara Ganesa.

Beberapa saat setelah lahir, Batara Ganesa dibawa oleh Batara Narada ke palagan (medan perang) untuk menandingi kesaktian Prabu Nilarudraka yang sedang mengamuk di kahyangan. Peperangan dua tokoh sakti itu efeknya sampai menimbulkan tsunami dan letusan gunung, sehingga tercipta lindu (gempa) yang menggoncangkan bumi seluruh isinya.

Akhirnya peperangan dimenangkan oleh Batara Ganesa. Binasalah raja raksasa berikut dengan para bala pasukannya tanpa meninggalkan sisa. Tumbal dan pertanda nyata lahirnya simbol dewa pengetahuan dan pendidikan. Batara Ganesa mendapat kepercayaan tugas memberi ilmu pengetahuan kepada umat manusia di tribuana (tiga dunia), diagungkan sebagai sumbernya segala ilmu, sebagai dewa pengatahuan, sastra dan penyebar ilmu.

11. Mitos Kisah Bathara Kamajaya dalam Wuku Galungan

Batara Kamajaya dianugerahi berparas elok dan sangat tampan. Ia adalah insan berwajah paling tampan di Tribuana (Jagad Mayapada, Madyapada, dan Arcapada). Bersama istrinya Batari Ratih/Kamaratih, pasangan suami istri itu menjadi simbol abadi kerukunan suami istri, serta dewa cinta kasih di jagad raya. Mereka amat kondang rukun, saling mencintai, tidak pernah bertengkar, saling setia satu sama lain, dan hanya ada pelangi cemburu yang teramat tipis. Istilah pepatah jawa "Pindho mimi nedheng hamituna" (laksana binatang laut yang bernama mimi yang sedang hamaituna/bersetubuh).

Batara Kamajaya adalah putra Sang Hyang Ismaya/Semar dengan dewi Senggani. Batara Kamajaya bersinggasana pada tumpukan untaian bunga bunga mekar mewangi di Kahyangan Cakrakembang. Ia memiliki pusaka ampuh yaitu senjata pamungkas berupa panah yang bernama Kanjeng Kyai Ageng Pancawisya.

Batara Kamajaya pernah mengemban tugas dari Batara Guru rajanya Kahyangan untuk menganugerahkan wahyu Cakraningrat kepada putera Arjuna yang bernama Raden Abimanyu/Angkawijayan sebagai pasangan wahyu Widayat/hidayat yang diturunkan oleh Batari Ratih kepada Dewi Utari istri Abimanyu. Siapapun yang kadunungan/ketempatan kedua wahyu tersebut akan menurunkan raja-raja Gung binatara.

Suatu saat, keagungan Kahyangan Suralaya diserang oleh Bolo Bacingah/bala tentara raksasa dibawah panji kebesaran Sang Prabu Nilarudraka, yang memanfaatkan waktu dimana saat itu Batara Guru tidak ada ditempat karena sedang gentur tapa bratanya di puncak Gunung Kailasa. Para dewa tidak satupun yang mampu membendung amukan balatentara raksasa yang dipandegani oleh prabu Nilarudraka yang sakti mandraguna mumpuni aji jaya kawijayan, guno kasantikan. Beberapa dewa mengungsi dan menyusul dipertapaan Batara Guru, dan berusaha matek Aji Pameling untuk membangunkan Batara Guru dari tapa bratanya, namun gagal total semuanya.

Karena serbuan prabu Nilarudraka berniyat "Sungsang Buwono Balik" (menghancur leburkan Kahyangan), dan ini mengancam keibawaan Batara Guru dan keseimbangan Tribuana, lalu Batara Kamajaya mengambil inisiatif guna menyelamatkan Kahyangan. Diambilnya senjata pamungkas yaitu panah sakti Pancawisaya, yang jika dilepas dampaknya ngedap edapi, daya perbawanya akan langsung menghujam tepat pada jantung perasaan yang terdalam dan menggetarkan seluruh senar hati yang getar dan gemanya bagai "Brengenge Sadpada hangisep sarineng sekar" (kumandang sejuta lebah kasamaran yang berebut menghisap sari-sarinya bunga). Laksana dendang simfoni yang menawarkan manis madunya bercinta. Maka seketika itu Batara Guru Katetangi Brantaning Ati (terusik dengan dahsyat endapan magma panas birahinya) dan terbangun dari tapa bratanya karena ampuhnya panah asmara Pancawisaya.

Konon, bedhor (ujung) panah Pancawisaya di-babar/dicipta dari tosan aji wesi Mangambal, yang diambil dari unsur wesi Jagad Kulon (arah barat), dan dibabar oleh Mpu Ramayadi dan Mpu Anggonjali, "Nalika pande ono sak luhuring mego malang" (diatas awan putih berarak). Namun sungguh diluar dugaan, ternyata Batara Guru murka kepada Batara Kamajaya, karena tapa bratanya  saat itu pada tataran/level Heneng, Hening, Awas, Eling. Seketika dari mata ketiga Batara Guru, yaitu mata yang menghias di tengah tengah dahi, meluncur seleret/seberkas sinar ke biru-biruan Sak Sodo Lanang (sebesar lidi daun aren), membakar tubuh Kamajaya dan dalam waktu sekejap saja tubuh Kamajaya menjadi abu, berserak diterbangkan angin pawana.

Setelah Batara Kamajaya meninggal, Dewi Ratih hanyut dan timbul tenggelam dalam banjirnya airmata yang mengucur deras dari pelupuk matanya laksana hujan 40 hari 40 malam menyiram bumi tiada henti. Dengan tangan lemah memohon menghiba kepada Batara Guru agar sesegera mungkin ikut dibunuh supaya lekas bisa menyusul suaminya dan menyatu cinta dalam keabadian. Mendengar suara tangis Dewi Ratih yang mengisyaratkan ketulusan hati yang tidak mampu pisah dengan belahan sukmanya, luluhlah perasaan welas asih Batara Guru. Lalu dengan Tirta Amerta/Tirta Mahening Suci, yakni air penghidupan, Batara Kamajaya di-Ruwat elemen-elemen jatinya Kamajaya di Sendang Panguripan pada hari Sukra Abritan (Jumat Paing) Wuku Galungan untuk dihidupkan kembali karena cinta suci Dewi Ratih.

Kamajaya dan Kamaratih mendapatkan kehormatan tugas bersemayam di Singgasana jiwa laki laki dan wanita. Mematri dua bongkah logam hati yang berkilau pasangan kekasih, agar senantiasa indah abadi laksana kelopak mawar hutan yang merah merona dalam asuhan rembulan. Gelembung gelembung asmara selalu ditiupkan dalam hasrat cinta yang bergairah di setiap utas rambut pada tubuh suami isteri, …"bak untaian pesona ajaib Red Baron yang membara merahnya, bagai permata Bio Solar yang lembut dan sejuk tak ubahnya pantulan keagungan bulan purnama sidi, tebaran teduhnya ijo royo royo tak ubahnya hamparan kerikil batu Bacan di beranda paviliun hati para pecinta yang agung….."

13. Mitos Kisah Bathara Kala dalam Wuku Langkir

Senja. Kembang teratai putih berkemas menyembunyikan mekar kelopaknya, menandai terang bergantinya malam. Burung belibis berpisah dengan kekasihnya, ditingkah kegembiraan pepohonan dan rerambatan yang istirahat dari lelahnya seharian berlomba, berebut mencumbu sinarnya mentari.

Pada saat itu pula Dewi Uma istri Batara Guru penguasa Kahyangan nyidham kawoworan (ingin yg teramat sangat) tamasya bersama suami naik Lembu Andini, nganglang jagad membelah indahnya senja di angkasa raya. Sebagai suami yang penguasa Tribuwana, maka dikabulkanlah Pamothah (permintaan kurang lazim) sang istri. Walau sadar benar bahwa hari itu adalah jatuh pancasuda "Satriya Wirang" (mendapatkan malu yang besar).

Diatas Lembu Andini yang mengangkasa nampak jelas puncak puncak wukir/gunung. Seakan diiring lambaian cemara dari lereng gunung, kepak sayap burung merak yang pancawarna yang begitu indah mempesona. Ketika lentera raksasa yang merebahkan hangatnya di peraduan begitu terasa agung. Tiada habisnya keagungan karya Hyang Widhi bila hendak digambarkan. Ketika melintas diatas pulau Nusakambangan, semilir angin pawana jemarinya genit menyibakkan kain sutra Dewi Uma yang menerawang bagaikan rupa awan tipis terbentang menyelimuti bulan purnama.

Maka seketika terpampang pesona yg menggetarkan seluruh senar hati dibalik kain tipis Dewi Uma. Pahanya jenjang bagaikan buluh gading berkilau-kilau sampai betis, digamit cahaya lembayung senja nan manja. Ujung-ujung bulu lembut di betis sang Dewi Uma mampu membelah teratai hati Batara Guru hingga Gumregah Nandhang Kasmaran (seketika terbangun hasrat birahinya).

Bagaikan batin sang pengantin anyar menggigil mendayu dayu, menganyam lamunan cinta dalam jiwanya, mengawang awang dalam puncak rasa. Sungguh, hati Batara Guru bagaikan Pedupaan Timah yang meleleh dipanggang terik panasnya hasrat birahi yang maha dahsyat, ingin segera menuntaskan dirinya dalam Ulah Keharuman Cumbu rayu. Letak duduk Batara Guru dibelakang Dewi Uma kian mendekat ...dan kian merapat kedepan hingga bersentuhan kulit...dan membelai tubuh. Hasrat Batara Guru menggelegak mengalahkan panasnya dapur magma gunung merapi. Meradang dan panas, laksana dada perawan menyimpan cemburu.

Betapapun manis cumbu rayu dan kata kata yang Memanuhara (menghiba penuh cinta) dari Batara Guru yang begitu manis laksana endapan madu tawon liar hutan belantara, akan tetapi Dewi Uma tidak tergetar simpul-simpul tubuhnya untuk melayani suami dalam Ulah kridaning priya wanodya, karena pamali melakukan ditempat terbuka, apalagi diatas punggung Lembu (sapi) Andini.

Hasrat Batara Guru sudah tiada tertahankan lagi tuk dipasung, menggelegak dahsyat diantara tulang sulbi, menyemburlah lahar sperma Batara Guru tidak pada tempat Giri Kumolo (pintu gerbang rahim), akan tetapi jatuh disamudra luas. Benih atau Kama salah itu disebut "Sang Kendhang Gumulung", yaitu menjadi sepotong daging yang mampu membuat mendidih air samudera hinga menimbulkan Goro goro (huru hara yang luar biasa) di tribuwana.

Maka atas titah Batara Guru, para dewa diperintahkan untuk melenyapkan Sang Kendhang Gumulung dengan senjatanya masing masing:

  • Hyang Brahma melepaskan senjata Surya Kantha. 
  • Hyang Wisnu melepaskan senjata Cakra Baskara. 
  • Hyang Bayu melepaskan senjata Gada Wesi Pulasari. 
  • Hyang Indra melepaskan senjata Duduk. 
  • Hyang Sambu melepaskan senjata Kolo Welang.  
  • Hyang Panyarikan melepaskan senjata Kolo Rancang. 
  • Hyang Pratanjala melepaskan senjata Karacan. 
  • Hyang Surya melepaskan senjata Lukita sari. 
  • Hyang Mahasekti melepaskan senjata Wastra Karacikan. 
  • Hyang Yama melepaskan senjata Karareje. 
  • Hyang Tamboro melepasakan senjata Wastra Wesi Akas. 
  • Hyang Narada melepaskan senjata Nenggala.

Akan tetapi semua senjata pamungkas yang dilepas pada Kendhang Gumulung hancur meluluh menjadi organ tubuh, antara lain:

~ Senjata Brahma menjadi mata

~ Senjata Bayu menjadi Urat punggung

~ Senjata Indra menjadi tangan

~ Senjata Sambu menjadi Tulang Engsel

~ Senjata Panyarikan menjadi semua Urat

~ Senjata Pritanjala menjadi Rambut

~ Senjata Surya menjadi Betis

~ Senjata Mahasekti menjadi Jari

~ Senjata Temboro menjadi Sungsum

~ Senjata Narada menjadi Telapak kaki

Kama salah yang sudah berujud sosok yang amat nggegirisi (mengerikan) itu keluar dari samudera berangkat ke Kahyangan menghadap Batara Guru yang sebenarnya adalah ayahnya.

Setelah menghadap Batara Guru dan para dewa, kemudian diterima sebagai anaknya, Batara Guru memberi pakaian dan senjata 

Bedomo (gada), karena sang Kama salah termasuk golongan dewa maka rambutnya diparas dan diberi nama Batara Kala. Dan memotong lidah serta kedua taringnya yang sangat berbisa. Potongan lidah Batara Kala dicipta menjadi anak panah yang bedhornya Wulan Tumanggal (diberi nama Pasupati, kelak dianugerahkan kepada Arjuna ketika menjadi pertapa peparab* Begawan Ciptoning di wukir (gunung) Indrakila.

Taring kiri dicipta menjadi keris Kolodite yang kelak kemudian menjadi pusaka Adipati Karna. Potongan taring kanan dicipta menjadi keris bernama Kolonadah, kelak menjadi pusaka Arjuna.

14. Mitos Kisah Bathara Brahma dalam Wuku Mandhasiya

Dalam “karier/profesi” sebagai pengendali Agni/api (nafsu amarah), Batara Brahma pernah melakukan kesalahan fatal, memisahkan hubungan harmonis dua bongkah hati yang direkat manis madunya asmara, yaitu antara Dewi Dresanala, putri Batara Brahma sendiri dengan Lelananging Jagat, Sang Arjuna. Ini terjadi atas bujukan dan konspirasi kotor Hyang Batari Durga yangg mempunyai pamrih pribadi ingin mengawinkan Dewi Dresanala dengan salah satu putra sendiri yang bernama Dewa Srani.

Tujuannya, tak lain dan tak bukan adalah untuk menyuramkan ke-Moncer-an Pamor Sang Arjuna. Bahkan Batari Durga, lambang dari segala malapetaka itu, dengan bengisnya memaksa terjadinya pengguguran atas hasil buah cinta kasih Dewi Dresanala bersama Arjuna, dimana pada saat itu Dewi Dresanala sedang mengandung.

Namun yang terjadi, bukannya mampu melenyapkan benih sejati di rahim Dewi Dresanala, justru terjadi kejadian sebaliknya. Ada ungkapan bijak leluhur mengatakan, Kridhaning ati tan kuwawa mbedhah kuthaning pesthi, budi dayaning manungsa ora bisa ngungkuli garising kawasa (upaya hati tidak akan mampu menggapai dan menjebol pintu gerbang takdir, usaha manusia tidak akan mampu menyentuh garis batasan kekuasaan Sang Pencipta). Benih didalam rahim Dewi Dresanala bukannya lenyap, akan tetapi terlahir secara Adi-Kodrati. Walau usia jabang bayi prematur, ia terlahir dengan berbagai talenta yang luar biasa dan kesaktian yang ngedab-edabi.

Kebengisan Batari Durga berlanjut dengan menyiksa dan ingin menghancur-lumatkan bayi ajaib itu dengan melemparkannya ke dalam Kawah Candradimuka, tempat inti dari segala panasnya api. Batari Durga kelepyan (kehilangan wawasan kecerdasan) dan samasekali lupa bahwa jabang bayi tersebut sejatinya adalah cucu dari Batara Brahma sendiri sebagai penguasa Agni (api). Jabang bayi itu bukannya hancur lebur menjadi abu, tapi seketika menjelma wujud sebagai ksatriya yang ngedab-edabi kesaktiannya dan mumpuni, sasat wruh sak durunge winarah (seakan mengetahui segala peristiwa yang bakal terjadi dengan gamblang).

Tindakan tidak pantas dan tegel (tega; bhs Jawa) yang dilakukan Batara Brahma lantaran hasutan Batari Durga, bisa dimaknai seperti kawruh leluhur. Pertama, unsur Api/Agni dan berwarna merah adalah lambang nafsu Amarah. Kedua, posisinya di Selatan atau Paing dan Lungguh-nya (bertempat) di telinga. Ketiga, simbol karakter (a) sangat rawan dengan hasutan dan provokasi, (b) akan mudah terbakar dan bereaksi cepat ketika mendengar provokasi.

Tindakan grusa-grusu (keburu nafsu) Dewa Brahma karena hasutan Batari Durga itu justru membuatnya ke-wirang-an atau mendapat malu yang tiada tara. Tindakan semacam itu bukannya berhasil memisahkan cinta kasih dan memusnahkan bibit unggul dari hubungan keharmonisan cinta kasih, akan tetapi Dewi Dresanala dengan Arjuna kian terpupuk subur keharmonisannya. Benih unggul yang akan dihancurkan itu menjelma menjadi Sosok Ksatria paripurna kemampuannya yang bernama Wisanggeni. Makna dari “Wisanggeni” bisa juga diartikan sebagai orang yang sudah bisa memilah mana kata-kata yang penuh racun dan mana kata-kata yang membakar atau memprovokasi.

Sosok Wisanggeni tumbuh dan dewasa melalui tempaan kedzoliman konspiratif dari Batari Durga dan Batara Brahma. Dalam kondisi konspiratif, Wisanggeni masih mampu menunjukkan keluhuran budi dan pengorbanan nyata. Wisanggeni mengambil sikap lila ing donya legowo ing pati (merelakan jiwa raganya untuk mati) demi kejayaan Nusa bangsanya ketika menjadi syarat unggulnya para Pandawa dalam perang suci barata yuda. Dengan suka cita Wisanggeni menyediakan diri lebur jadi abu lewat api yang berkobar dari Mata-Ketiga Hyang Brahma yang sebenarnya masih kakeknya sendiri.

Ke-wirang-an (rasa malu) Batara Brahma dalam peristiwa ini, akan mewarnai pula kecenderungan bayi yang terlahir dalam hari-hari yang ada didalam Wuku Mondosiyo, yaitu menyandang kecenderungan Satriya Wirang (orang yang akan mendapatkan malu) dan Lebu Katiyup ing Angin (Upayanya membuahkan hal yang sia-sia).

15. Mitos Kisah Bathara Guritna dalam Wuku Julungpujud

Wuku Julung Pujud, dewa yang mempengaruhi adalah Batara Guritna. Dalam versi Redisutan, Batara Guritna adalah Spirit/jiwa dari Jabang Tetuka, Koconagoro, Purbaya, yang proses berkembang dan dewasanya digembleng di pusat pendadaran bernama Kawah Candradimuka.

Kawah Candradimuka secara simbolik merupakan inti dari lelehan pijarnya magma untuk membentuk sebuah generasi baru yang mumpuni. Generasi baru ini mempunyai sikap mental yang gagah berani, tangguh, tanggon dan memiliki sifat tanggung jawab tinggi. Ibarat ber-otot kawat balung wesi (otot kawat, tulang besi), sungsum gegolo (sungsum inti nuklir). Sosok generasi yang mampu terbang menggapai langit lazuardi dan membelah mega-mega yang merangkak di cakrawala.

Tubuh generasi yang memancarkan medan energi dahsyat tiada tara untuk menetralisir panas dan curah derasnya air hujan, karena limambaran pusaka sakti berupa baju atau Kutang Antakusuma dan Caping Basunando. Bahkan sang generasi itu mampu melanglang buwana (dunia) dan segala medan, tanpa terdeteksi oleh radar lawan. Ibarat "Kayu aeng, Lemah sangar dadi towo", karena ia memiliki Kasut podo kacarmo, yaitu sepatu yang tercipta dari kulit penjaga bumi berwujud naga bernama Sang Hyang Ananta Kusuma.

Namun, generasi paripurna ini harus lebih awal gugur sebagai kusuma bangsa. Lantaran dijadikan tumbal atau tameng hidup oleh titisan Wisnu Batara. Ini terjadi dalam situasi langkah penyelamatan terhadap Arjuna dari senjata pamungkas yang bernama panah Kunta Wijayandanu. Senjata pamungkas itu dilepas oleh Surya Putra/Karna Basusena dalam perang suci antara Darma dengan Adarma di padang Kuru Kasetra nan angker.

Bathara Guritna telah mempersiapkan generasi berikutnya, putranya, yaitu Sasikirana. Ibarat persalinan atau melahirkan, sekecil apapun harus berdarah darah, maka Bathara Guritna itulah yang berdarah tumbal untuk menghantarkan Sang Sasikirana.

16. Mitos Kisah Bathara Tantra dalam Wuku Pahang

Begitu kuatnya nilai-nilai roh Batara Tantra ini sehingga di belahan bumi tumbuh subur aliran semacam Tantrayana, Tantra Bhairawa dan sebagainya. Leluhur Nusantara tidak sedikit yang gandrung akan aliran Bathara Tantra.

Di candi Sukuh, tepatnya pada suatu tempat yang sangat erotis, sebelah barat kaki gunung Udayadri (jaman sekarang lebih masyhur dikenal dengan nama Gunung Lawu), terdapat sebuah relief.  Relief itu menggambarkan suasana didalam besalen (tempat membuat keris) yang bangunannya berbentuk Limasan Gigir Kebo.

Di dalam relief terdapat gambaran seorang Mpu dimana ia disertai seorang panjak (tukang ububan) dengan posisi berdiri dengan satu kaki. Posisi berdiri satu kaki itu menggambarkan salah satu sikap yoga Hyang Tantra. Sorot mata sang Mpu terlihat Jatmiko (tajam penuh wibawa) ketika ia sedang menempa keris dengan Paron Dhengkul (lutut sebagai ganti landasan besi tempa), dengan ageman/atribut yg masing masing mengirim pesan kepada manusia di bumi sebagai berikut.

Sosok Mpu dengan model rambut Hagegelung Minangkoro cinandhi renggo (wus datan keweran dununging panembah marang sesembahan jati) artinya: sudah tidak ragu lagi akan penyatuan terhadap Tuhannya (manunggaling kawulo Gusti) atau bersatunya antara kehendak Yang Disembah dengan Yang Menyembah.

Di tengah antara kedua alis memakai Pupuk Emas Rineka Jaroting Asem (budine ngrawit pindho jaroting asem). Maknanya: manusia harus halus budinya melebihi lembut dan rumitnya serat buah asam.

Di telinga menyelipkan Sumping Pudhak Sinumpet (pinter api api balilu). Maknanya: sebenarnya cerdas tapi tidak menampakkan kecerdasannya. Berbeda dengan kondisi mental pada umumnya manusia di jaman sekarang, seperti diingatkan dalam Serat Wedatama: Durung Besus Kasusu Kaselak Besus (belum bisa apa-apa, tapi terburu-buru ingin terlihat pintar).

Ditangannya memakai Kelat Bau Rineka Balibar Manggis Binelah Tekan Kendhagane (Njobo njero podho). Maknanya: antara ucapan dan tindakan selaras (sabdo pandhito ratu), jika berucap bisa dipegang ucapannya, bukannya esuk tempe sore dhele (lain sekarang, lain nanti kenyataan ucapannya).

Memakai kalung Sangsangan Nogo Bondo, dari arah kanan ke kiri (yen prang campuh mundure yen wus prapteng lampus). Maknanya: jika sudah mempunyai kesanggupan didalam sebuah perjuangan untuk bangsa, maka tidak akan pernah mundur sejengkalpun, mundur jika sudah berkalang ibu pertiwi.

Memakai Kampuh Poleng Bang Bintulu, Abang, Ireng, Kuning, Putih (memakai kain poleng merah, hitam, kuning, putih). Maknanya: meletakkan nafsunya dibawah perut atau diluar tubuhnya, yaitu bukan ditunggangi oleh nafsu Amarah, Aluamah, Supiah, Mutmainah, akan tetapi mampu menyetir dan menunggangi 4 (empat) nafsu yg melekat pada setiap individu yang memang merupakan anasir 4 (empat) asal muasal badan wadag manusia. Adapun nafsu empat tadi selalu menyeret manusia kepada:

  1. Abang/Api kepada nafsu amarah, emosi;
  2. Ireng/Tanah kepada Aluamah, urusan perut;
  3. Kuning/Air kepada nafsu Supiah, urusan birahi; dan
  4. Putih/Udara kepada nafsu Mutmainah, hal spiritual yang jika berlebihan (over) akan menimbulkan pamer (riya').

Begitu kentalnya spirit yang ditebarkan Hyang Tantra pada kehidupan umat manusia yang mampu diserap oleh leluhur kita. Utamanya para Mpu keris di jaman dahulu menitipkan pesan filosofisnya lewat maha karyanya, yaitu keris.

17. Mitos Kisah Bathara Wisnu dalam Wuku Kuruwelut

Wuku Kuruwelut yang menaungi adalah Bathara Wisnu, senopati perang para dewata, pernah mengalahkan Prabu Watu Gunung tanpa menggunakan kesaktiannya, tapi dengan kecerdikannya. Oleh karenanya, dalam konteks komunikasi individu antar-wuku, orang yang dinaungi wuku Watugunung disarankan untuk berhati-hati saat berpapasan dengan wuku Kuruwelut yang dipayungi oleh putra kelima Hyang manikmaya ini.

Bathara Wisnu berkahyangan/bersemayam di Untarasegara. Sering ngejawantah atau  menjelma ke dunia untuk brastha watak angkoro budi candhala ambeg siya (angkara murka) dengan cara menitis.

Senjata yang dimiliki Bathara Wisnu berupa Cakra Baskara, yang titisannya juga memiliki, kecuali Sang Rama Regawa. Bathara Wisnu juga memiliki pusaka sakti yang bisa menghidupkan orang meninggal Sak Jabane Pepesthen (mati sebelum waktunya) yang bernama Kembang Cangkok Wijayakusuma. Bathara Wisnu juga memiliki Aji Braholosewu yang amat nggegiri jika triwikrama (berubah wujud menjadi raksasa yang teramat besar). Saat Batara Wisnu menitis sebagai Narayana/Krisna, ajian itu diberikan oleh gurunya yang bernama Begawan Padmanaba yang sesungguhnya adalah Hyang Wisnu sendiri.

Bathara Wisnu pernah menjelma sebagai Narasingha (manusia dengan berkepala singa) ketika memusnahkan raja raksasa Prabu Hiranyakasipu. Ia menjelma menjadi Matsa (ikan) untuk membinasakan Hargagriwa yang berujud raksasa sakti. Juga pernah ber-Avatara dalam wujud Wimana (orang kerdil) untuk membinasakan Ditya Bali.

Bathara Wisnu identik dengan tunggangannya yaitu Garuda birawa bernama Bhirawan. Karena sayangnya kepada Garuda titihannya, Bhirawan dijadikan menantu dan dijodohkan dengan salah satu putrinya, yaitu Dewi Kastapi.

Dalam Purana, Batara Wisnu dikisahkan menjadi raja di Medangkamulan dengan gelar Prabu Satmata, juga sebagai Raja Pinandita di Kadiri bergelar Sri Aji Jayabaya yang kondang hingga sekarang dengan kitab Jongko Joyoboyo yang disadur oleh seorang Putut dari Padepokan Tegal Sari dibumi Wengker, yaitu Raden Mas Ngabehi Rongga Warsita.

24. Mitos Kisah Bathara Bisma dalam Wuku Prangbakat

Wuku Prangbakat disimbolkan dengan Batara Bisma. Sekedar kemungkinan yang belum tentu manifes, simbol Batara Bisma akan mewarnai teratai hati perempuan. Mirip beberapa drama korea, perempuan kecewa hati karena harapan yang ditambatkan pada lelaki tertentu agar segera duduk di singgasana pelaminan (yang penuh dengan mozaik kebahagian) akan pupus. Kandas di persimpangan jalan lantaran sesuatu hal di luar kuasa-dirinya.

Bersama gemuruh air hujan yang dicurahkan dari langit, asah suara-hati dan pikiran untuk menimbang-nimbang sumpah dan janji dari orang-orang tertentu. Mungkin, sumpah atau janji yang diucapkan pada rotasi minggu/wuku Prangbakat kelak akan menjadi masalah besar: tanggung jawab yang tak-lekas-terpenuhi.

25. Mitos Kisah Bathari Durga dalam Wuku Bala

Kala kabut senja mulai turun, siang pun terkantuk, mega-mega merah merangkak di cakrawala, terasa pada saat itu sunyi yang teramat sunyi...menyingsing di antara senja yang mengalun…

Batara Guru dan Dewi Uma bercengkerama terbang ke angkasa, berada di atas punggung Lembu Andini, memandangi indahnya panorama alam di atas lautan Nusakambangan. Bertambah indahnya suasana saat bias pesona sinar Candhik Ayu (lembayung senja) menggamit permukaan wajah ayu Dewi Uma.

Angin barat pun bagai diundang bertiup sepoi namun agak kencang. Angin genit itu menyibakkan kain tipis yang dikenakan Sang Dewi Uma, hingga nampak terpampang nyata kemolekan betis yang mencorong bagaikan emas sinangling pesonanya, dipadu dengan rona pipi Dewi Uma yang memerah, hingga menjadikan Batara Guru Katetangi Brantaning Ati (bangkit dan berbuncah birahinya).

Saat itu juga, Batara Guru "Memanis  Mamanuhara" (merayu dengan iba) agar diladeni memadu kasih di atas punggung Lembu Andini. Akan tetapi Batara Guru yang sudah terlanjur menggigil dalam hasrat tersebut ditolak oleh sang istri, karena malu melakukan hubungan badan di tempat terbuka atau saat di perjalanan. Ini juga pamali. Semakin kuat Dewi Uma menolak dan menghindari, semakin menggebu hasrat Batara Guru untuk menyampaikan hasratnya. Akhirnya memancarlah Kama (sperma) Batara Guru dan jatuh ke laut lepas.

Batara Guru kecewa, kesal dan murka terhadap penolakan istrinya. Sepanjang perjalanan di atas punggung Lembu Andini terjadi pertengkaran hebat. Dalam keadaan kesal dan marah tanpa sadar Dewi Uma mengeluarkan Sot (kutukan) "Perbuatan Yang Mulia Batara Guru tadi hanyalah pantas dilakukan oleh mahluk bersiung panjang!".

Maka seketika itu terjadilah apa yang diucapkan karena Dewi Uma mempunyai kesaktian yang amat tinggi dan gentur tapane (ahli tapa brata). Menyadari siung/taringnya tumbuh panjang, bukan main murkanya Batara Guru, tanpa berpikir dua kali Bathara Guru segera membalas dengan mengeluarkan kutukan saktinya terhadap Dewi Uma. Seketika itu Dewi Uma menjadi Raseksi (raksasa perempuan) yang wujudnya nggegirisi.

Usai saling menjatuhkan melalui ujaran saling-mengutuk, terjadilah situasi yang ibarat pepatah: sesal kemudian tiada gunabubur tidak lagi kembali menjadi nasi. Walaupun sama-sama masih saling mencinta, Dewi Uma sudah terlanjur berubah wujud menjadi Raseksi yang tidak pantas lagi mendampingi sebagai istri Bathara Guru raja tiga dunia. Dewi Uma diberi tempat di Kayangan Setra Gandamayit di hutan Krendawahana, menjadi ratunya para jim setan peri perayangan, ilu-ilu banaspatigandarwa dan sebagainya. Dan Dewi Uma diberi nama Bathari Durga.

30. Mitos Kisah Watugunung dalam Wuku Watugunung

Pada suatu pagi yang cerah, di hutan yang asri, ketika Sang Prabu Watu Gunung sedang Membedhag Buron Wono (berburu dihutan), di tepi Sendang (mata air) yang airnya bening berkilau, dilihatnya ada seorang wanita muda yang teramat cantik jelita, tak ubahnya tetungguling Bidadari yang sedang turun dari taman swargaloka sedang mencuci kainnya, dengan rambut hitam legam setengah basah tergerai hingga pinggangnya. Oleh Prabu Watu Gunung disapanya wanita cantik jelita itu, dengan tubuh menggigil seakan tidak mampu berdiri dan bertumpu dikedua kakinya, dengan mata terbelalak terpesona ketampanan Sang Prabu, seketika itu tumbuh akar asamara merambat disekujur tubuh dan jiwanya...ketika Prabu Watu Gunung menyentuh lembut pundaknya, seluruh senar hati Sang Jelita tergetar hebat...

Demikian juga halnya dengan Prabu Watu Gunung, menggigil dalam hasrat dan tumbuh sayap-sayap kehendak untuk meminang Sang Jelita dalam rengkuhan singgasana cintanya yang agung. Gayung bersambut, Sang Jelitapun menerima pinangannya. Diboyonglah Dewi Sinta ke kerajaan untuk diajak Mukti wibowo hambau dendho hanyokrowati (menjadi permaisuri) mendampingi Sang Prabu Watu Gunung. Dan dewi Sinta samasekali tidak mengira bahwa yang menjadi suaminya adalah putra kandungnya sendiri.

Prabu Watu Gunung pun tidak mengira bahwa wanita jelita yang nampak masih perawan itu adalah ibu kandungnya sendiri. Dipikirnya tentu ibunya sudah meninggal atau kalau masih hidup pun tentu sudah tua renta. Adapun dewi Sinta tetap awet muda karena tiap hari siram jamas di Sendang Panguripan dan rajin minum jamu dedaunan awet muda hasil racikannya sendiri. Hubungan asmara terlarang sudah terlanjur terjadi, bubur tidak lagi mungkin kembali menjadi nasi. Hal yang bisa diupayakan Sang Dewi adalah mengakhiri hubungan asmara ini untuk menghindari kutukan Dewata.

Setelah Maneges (mohon petunjuk) akhirnya Sang Dewi mendapatkan petunjuk dari Hyang Widhi, ia mengajukan permintaan agar dimadu dengan tetungguling bidadari di Kayangan yang bernama Dewi Supraba, dengan alasan suatu kebanggaan dan kehormatan kalau dimadu dengan ratunya bidadari. Walau dengan basa basi, permintaan wanita yang amat dicintainya itu disanggupi. Tanpa menunggu waktu lama, Prabu Watu Gunung naik ke Kayangan Kaendran untuk meminang Dewi Suprobo. Tentu saja Batara Indra tidak mengijinkan, maka terjadilah perang tanding yang akhirnya dimenangkan oleh Prabu Watu Gunung. Seluruh dewa di Kayangan tidak ada yang mampu mengalahkan Prabu Watu Gunung. Maka majulah Senopati Perang para dewa yang amat terkenal sakti dan cerdik, yaitu Dewa Wisnu.

Menghadapi Dewa Wisnu yang amat cerdas dan sakti mandraguna itu, Prabu Watu Gunung menggunakan Gelar Perang yang di-support oleh dua istrinya yaitu Dewi Sinta dan Dewi Landhep dan dua puluh tujuh putranya, mengepung Dewa Wisnu dari delapan penjuru mata angin, angkasa dan pertiwi. Gelar perang yang sempurna ini tidak mampu ditembus oleh Dewa Wisnu, apalagi Prabu Watu Gunung menguasai ilmu kebal Lembu Sekilan, tidak bisa terkena senjata apapun. Menyadari tidak akan mampu menerobos formasi perang yang digelar oleh Prabu Watu Gunung, maka sebagai dewa yang amat cerdik, dewa Wisnu menantang untuk adu kecerdasan dan kepintaran otak. Prabu Watu Gunung langsung menerima tantangan tanpa menyadari bahwa diakali oleh dewa Wisnu. Adu kecerdasan itu dengan cara adu main catur.

Sampai berhari-hari pertandingan catur berjalan dengan seru, dewi Sinta semakin cemas, khawatir kalau dewa Wisnu kalah, maka akan gagal harapannya untuk menghentikan kutukan Dewata. Saat dewi Sinta masih tenggelam dengan puja semedinya, tiba-tiba terdengar Surak-Surak Manengker Gumuruh hamboto rubuh (suara tempik sorai) para dewa dewa yang meng-elu-elukan kemenangan dewa Wisnu.  Prabu Watu Gunung yang sakti mandraguna telah dikalahkan dengan kecerdikan dewa Wisnu.  Karena rasa malu yang tak tertanggungkan, maka dengan tertunduk lesu ditinggalkanlah tempat itu oleh Prabu Watu Gunung, dan ditempat yang sepi Prabu Watu Gunung mengakhiri hidupnya dengan cara Moksa. Menyaksikan hal itu maka dewi Sinta dan dewi Landhep ikut bela pati, yang juga diikuti oleh keduapuluh tujuh anak-anaknya.

Gelar perang Prabu Watu Gunung yang amat tangguh dan rapi ini mendapat pujian khusus dari dewa Wisnu, begitu pula dengan dewa-dewa lainnya juga mengagumi kehebatan Gelar Perang ini. Tiga puluh orang yang mumpuni dalam olah kanuragan guno kasantikan, telah menjadi Ruas-Ruas pertahanan, setiap Ruasnya memiliki kekuatan satu minggu lamanya. Diawali dari hari minggu hingga dengan hari Sabtu. Terus berjalan silih berganti tiada henti dalam setahun 30 wuku = 7 x 30 = 210 hari.




Komentar

Baca Juga:

Minggu Wuku Warigagung (21-27 Juni 2015): Netralisir Enerji Negatif, Membuat Pusaka, dan Perburuan Batu Mulia

Minggu WUKU KURUWELUT (25-31 Januari 2015): SATRIA WIRANG dan TALI WANGKE: 25-31 Januari 2015

Minggu Wuku Kurantil, 24-30 Mei 2015, Kehati-hatian Berniaga, Antisipasi "Nuju Pati"

Wuku Prangbakat Tanggal 4-10 September 2022 Ketahanan Pangan

Minggu/Wuku Julung Pujud, 9-15 Agustus 2015: Kehati-hatian Menyusun Strategi Politik

Minggu Wuku Warigalit, 14-20 Juni 2015, Berburu Batu Akik dan Tirakat "Pilkada"

Wuku Sinta Minggu Pahing 23 Oktober 2022 Kolaborasi Bisnis Peternakan

Minggu WUKU PAHANG DAN FILOSOFI KERIS, 18-24 Januari 2015

Minggu/Wuku Pahang 16-22 Agustus 2015: Pasangan Ideal dalam Pilkada (Pahang, Wugu dan Gumbreg)

Minggu Wuku Sinta, 3-9 Mei 2015, Membuka Peternakan Skala Besar