Tanggal 4 Januari (Minggu Pon) sampai dengan tanggal 10 Januari (Sabtu Wage) 2015 masuk dalam kurun waktu
. Yang menaungi sifat wuku ini adalah Batara Brahma (Brama). Ia putra kedua Hyang Manikmaya dari permaisuri Dewi Uma (Umayi) dan berkahyangan/bersemayam di Argadahana.
Dalam “karier/profesi” sebagai pengendali
Agni/api (nafsu amarah), Batara Brahma pernah melakukan kesalahan fatal, memisahkan hubungan harmonis dua bongkah hati yang direkat manis madunya asmara, yaitu antara Dewi Dresanala, putri Batara Brahma sendiri dengan
Lelananging Jagat, Sang Arjuna. Ini terjadi atas bujukan dan konspirasi kotor Hyang Batari Durga yangg mempunyai pamrih pribadi ingin mengawinkan Dewi Dresanala dengan salah satu putra sendiri yang bernama Dewa Srani.
Tujuannya, tak lain dan tak bukan adalah untuk menyuramkan ke-
Moncer-an
Pamor Sang Arjuna. Bahkan Batari Durga, lambang dari segala malapetaka itu, dengan bengisnya memaksa terjadinya pengguguran atas hasil buah cinta kasih Dewi Dresanala bersama Arjuna, dimana pada saat itu Dewi Dresanala sedang mengandung.
Namun yang terjadi, bukannya mampu melenyapkan benih sejati di rahim Dewi Dresanala, justru terjadi kejadian sebaliknya. Ada ungkapan bijak leluhur mengatakan,
Kridhaning ati tan kuwawa mbedhah kuthaning pesthi, budi dayaning manungsa ora bisa ngungkuli garising kawasa (upaya hati tidak akan mampu menggapai dan menjebol pintu gerbang takdir, usaha manusia tidak akan mampu menyentuh garis batasan kekuasaan Sang Pencipta). Benih didalam rahim Dewi Dresanala bukannya lenyap, akan tetapi terlahir secara Adi-Kodrati. Walau usia jabang bayi prematur, ia terlahir dengan berbagai talenta yang luar biasa dan kesaktian yang
ngedab-edabi.
Kebengisan Batari Durga berlanjut dengan menyiksa dan ingin menghancur-lumatkan bayi ajaib itu dengan melemparkannya ke dalam
Kawah Candradimuka, tempat inti dari segala panasnya api. Batari Durga kelepyan (kehilangan wawasan kecerdasan) dan samasekali lupa bahwa jabang bayi tersebut sejatinya adalah cucu dari Batara Brahma sendiri sebagai penguasa
Agni (api). Jabang bayi itu bukannya hancur lebur menjadi abu, tapi seketika menjelma wujud sebagai ksatriya yang
ngedab-edabi kesaktiannya dan mumpuni,
sasat wruh sak durunge winarah (seakan mengetahui segala peristiwa yang bakal terjadi dengan gamblang).
Tindakan tidak pantas dan
tegel (tega; bhs Jawa) yang dilakukan Batara Brahma lantaran hasutan Batari Durga, bisa dimaknai seperti
kawruh leluhur.
Pertama, unsur Api/
Agni dan berwarna merah adalah lambang nafsu Amarah.
Kedua, posisinya di Selatan atau
Paing dan
Lungguh-nya (bertempat) di telinga.
Ketiga, simbol karakter (a) sangat rawan dengan hasutan dan provokasi, (b) akan mudah terbakar dan bereaksi cepat ketika mendengar provokasi.
Tindakan grusa-grusu (keburu nafsu) Dewa Brahma karena hasutan Batari Durga itu justru membuatnya ke-wirang-an atau mendapat malu yang tiada tara. Tindakan semacam itu bukannya berhasil memisahkan cinta kasih dan memusnahkan bibit unggul dari hubungan keharmonisan cinta kasih, akan tetapi Dewi Dresanala dengan Arjuna kian terpupuk subur keharmonisannya. Benih unggul yang akan dihancurkan itu menjelma menjadi Sosok Ksatria paripurna kemampuannya yang bernama
Wisanggeni. Makna dari “Wisanggeni” bisa juga diartikan sebagai orang yang sudah bisa memilah mana kata-kata yang penuh racun dan mana kata-kata yang membakar atau memprovokasi.
Sosok Wisanggeni tumbuh dan dewasa melalui tempaan kedzoliman konspiratif dari Batari Durga dan Batara Brahma. Dalam kondisi konspiratif, Wisanggeni masih mampu menunjukkan keluhuran budi dan pengorbanan nyata. Wisanggeni mengambil sikap
lila ing donya legowo ing pati (merelakan jiwa raganya untuk mati) demi kejayaan Nusa bangsanya ketika menjadi syarat unggulnya para Pandawa dalam perang suci barata yuda. Dengan suka cita Wisanggeni menyediakan diri lebur jadi abu lewat api yang berkobar dari
Mata-Ketiga Hyang Brahma yang sebenarnya masih kakeknya sendiri.
Ke-
wirang-an (rasa malu) Batara Brahma dalam peristiwa ini, akan mewarnai pula kecenderungan bayi yang terlahir dalam hari-hari yang ada didalam Wuku Mondosiyo, yaitu menyandang kecenderungan
Satriya Wirang (orang yang akan mendapatkan malu) dan
Lebu Katiyup ing Angin (Upayanya membuahkan hal yang sia-sia).
B. Pertautan Wuku Mandhasiya dan Mangsa
“Wuku Mondosiyo, dewane Hyang Batara Brahma, Rosa kras pambegane, panas branan, adhem parentahe pratondho prajurit. Tan darbe toya, gedhonge minep ing ngarsa, gemi ing arto. Kayu asem, dadi pangaubane wong kawelas arsa. Manukke Platuk bawang. Rosa budine tan saronto barang karepe. Mondosiyo Anggoro kasih kayu agung, tegese dadi pangauban. Dora patut akekadang, tan darbe umbul umbul.”
“Candrane watu item munggeng ing papreman lan wreksa geng pancere. Luwih sabar nanging yen nepsu nemeni. Bilahine kesiung lan kejailan. Tulak slamet ana sega ing ambengan dang dangan beras sepitrah kang abang, jangane bayem bang, iwak ayam abang, mongmonge kembang setaman abang. Slawate picis anyar kang putih 40 ketheng, dungane slamet pina. Mondosiyo tinilaring warih kang mina. Bilahine rinengon dening wong agung. Pangruwating bilahi jambu kluthuk satus iji lan ambengan wetonn slawate patang puluh ketheng. Kang darbe wuku yen peteng atine nylametana nuju pawukone. Kolo wuku neng ngisor, yen prang ojo mudhun soko gunung.”
Artinya:
Mondosiyo dewanya Batara Brahma. Kayunya Asam, bisa untuk menjadi tempat berlindung bagi yang membutuhkan. Burungnya Platuk bawang, pekerja keras, banyak dipuji, ingin sekali menjadi orang yang dihormati.
Mondosiyo Anggoro Kasih, maknanya adalah menjadi tempat berlindung, akan tetapi sering tidak bisa akur dengan saudara. Celakanya jika terkena bisa/racun taring. Sedekahnya nasi ambeng, daging ayam wulu abrit/bulu merah yg dibumbu pindhang, serta ditambahkan
sego among among (nasi putih dengan lauk
kuluban). Do'a slamet, Selawat uang yang baru sejumlah 40 ketheng. Kolo posisi dibawah, menengadah ke atas. Dalam tujuh hari
seyogyanya menghindari kegiatan memanjat.
Wuku Mondosiyo pada bulan Januari 2015 kali ini masih berada didalam rotasi
Mangsa Kapitu. Candra-nya adalah "
Wisa Kentar Ing Maruta".
Ing mongso iki akeh lelara panas lan weteng. Akeh Kali banjir lan angin gedhe. Wong sesawah wiwit tandur. Bayi lair ing mongso iki watake brangasan. Seneng gawe lara atine liyan.
Artinya:
Wisa, sesuatu yang berbisa dibawa angin. Pada waktu ini banyak orang sakit panas dan gangguan sakit perut. Banyak terdapat sungai banjir dan angin besar, tanah longsor. (Bencana pada unsur Bumi, geni/api, Banyu, Angin/di darat, di udara, di laut, bawah tanah). Para petani mulai memasuki musim tanam. Bayi yang terlahir pada mongso ini punya watak brangasan (emosional) dan cenderung menyakiti hati sesama.
Karakter harian dalam Wuku Mondosiya, dari Tanggal 04 Januari sampai dengan tanggal 10 Januari 2015 diuraikan berikut ini.
Tanggal 04 Januari 2015 (Minggu Pon): Tidak baik untuk bepergian urusan-urusan penting, cenderung tidak membuahkan hasil.
Tanggal 05 Januari 2015 (Senin Wage):
Rahayu, baik untuk memasang jerat dan akan membawa hasil (jerat dalam artian luas pada sebuah kehidupan yang kompleks saat ini).
Tanggal 06 Januari 2015 (Selasa Kliwon): tidak baik, banyak halangan, waspada, baik sekali untuk tirakat,
mulat sarira hangrasa wani atau intropeksi.
Tanggal 07 Januari 2015 (Rebo Legi):
rahayu, untuk berdagang (kulakan) barang dagangan dan banyak beruntung. Baik untuk memulai membongkar bangunan yang sudah tidak sesuai lagi.
Tanggal 08 Januari 2015 (Kemis Paing): baik untuk berdagang (
kulakan). Untuk urusan-urusan selain berdagang akan seperti
Lebu Katiyub ing Angin (debu tertiup angin) sehingga apapun yang diupayakan cenderung kurang maksimal. Anak yang terlahir pada hari Kamis Paing yang Wuku-nya Mondosiyo, mempunyai pembawaan
Lebu Katiyup ing Angin.
Tanggal 09 Januari 2015 (Jemuah Pon): cocok untuk mulai membangun kolam ikan atau tambak, memulai usaha, dan menjalin tali persaudaraan. Karakter bayi yang terlahir pada hari Jumat Pon Wuku Mondosiyo menyandang pembawaan
Lebu Katiyup ing Angin (antara perjuangan dengan hasil yang didapat belum sebanding/imbang).
Tanggal 10 Januari (Setu Wage): Baik untuk mendatangi musuh, menang dalam peperangan.
Sangaring Tanggal (pantang tuk hajatan mantu). Karakter bayi yang terlahir pada hari Sabtu Wage wuku Mondosiya adalah
Satriya Wirang (dalam perjalanan hidup cenderung sering mendapatkan malu).
Untuk orang yang terlahir Satriya Wirang dan Lebu Katiyup ing Angin, di jaman dahulu, diadakan Ritual Ruwatan Pawukon. Tujuannya, untuk menetralisir energi negatif Satriya Wirang dan Lebu Katiyup ing Angin. Warisan budaya Ruwatan Pawukon ini masih dijumpai pada jaman sekarang ini, walau sudah amat langka.
C. Pertautan Wuku dan Keris
Wuku Mondosiyo keris yang lebih lebih cocok adalah: (a) Keris
Leres (lurus; bhs Jawa) seperti dhapur Bethok, dhapur Kebo Lajer, dhapur Kebo Teki atau Kebo Teteki; (b) sedangkan untuk keris
Keluk (Luk) adalah Keris dhapur Sangkelat dan keris dhapur Pandhowo Lare, Pandhowo Cinarito.
Komentar
Posting Komentar
Konsultasi/diskusi lebih lanjut, silahkan posting di kolom komentar